Abrasi

Abrasi adalah fenomena alam yang selalu menjadi masalah di lingkungan pantai.Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Abrasi biasanya disebut juga erosi pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipacu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut. Walaupun abrasi bisa disebabkan oleh gejala alami, namun manusia sering disebut sebagai penyebab utama abrasi. Salah satu cara untuk mencegah terjadinya abrasi adalah dengan


Abrasi adalah suatu proses perubahan bentuk pantai atau erosi pantai yang disebabkan oleh gelombang laut, arus laut dan pasang surut laut. Abrasi yang terjadi terus menerus akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Menurut berita dari koran “ Pikiran Rakyat”  tanggal 31 Mei 2004 bahwa sedikitnya 40 kilometer kawasan pantai di Kabupaten Indramayu terus digerus abrasi. Kerusakan akibat gerusan air laut yang tersebar di tujuh wilayah kecamatan di Indramayu itu sangat memprihatinkan.


Abrasi pantai Indonesia saat ini dinilai sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan. Lebih dari 30 ribu kilometer pantai, atau sekitar 40 persen dari 80 ribu kilometer bibir pantai rusak akibat abrasi. Kondisi rawan ini menyebabkan potensi dampak bencana yang lebih buruk ketimbang sebelumnya. Bencana yang akan kerap terjadi antara lain gelombang besar, pasang laut luar biasa, erosi pantai, sedimentasi pantai, tsunami, angin badai, gempa bumi dan banjir.pantai rusak akibat abrasi. Kondisi rawan ini menyebabkan potensi dampak bencana yang lebih buruk ketimbang sebelumnya. Bencana yang akan kerap terjadi antara lain gelombang besar, pasang laut luar biasa, erosi pantai, sedimentasi pantai, tsunami, angin badai, gempa bumi dan banjir.


Terjadinya Abrasi


Abrasi dapat terjadi karena :



  1. Faktor Alam

  2. Faktor Manusia


Proses terjadinya abrasi karena faktor alam disebabkan oleh  angin  yang bertiup di atas lautan yang menimbulkan gelombang dan arus laut sehingga mempunyai kekuatan untuk mengikis daerah pantai. Gelombang yang tiba di pantai dapat menggetarkan tanah atau batuan  yang lama kelamaan akan terlepas dari daratan.


Abrasi terjadi ketika angin yang bergerak di laut menimbulkan gelombang dan arus menuju pantai. Arus dan angin tersebut lama kelamaan menggerus pinggir pantai. Gelombang di sepanjang pantai menggetarkan tanah seperti gempa kecil. Kekuatan gelombang terbesar terjadi pada waktu terjadi badai sehingga dapat mempercepat terjadinya proses abrasi. Contoh abrasi karena faktor alam, misalnya adalah Pura Tanah Lot di pulau Bali yang terus terkikis


Selain faktor alam, abrasi juga disebabkan oleh faktor manusia, misalnya  penambangan pasir. Penambangan pasir sangat berperan banyak terhadap abrasi pantai, baik di daerah tempat penambangan pasir maupun di daerah sekitarnya karena terkurasnya pasir laut akan sangat berpengaruh terhadap kecepatan dan arah arus laut yang menghantam pantai.


Fenomena Abrasi


Di Kota Tegal, Jawa Tengah, sekitar 30 persen pantainya terkena abrasi. Menurut Ketua Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Komunitas Kota Tegal Suharjo, dari sekitar 750 meter panjang pantai yang ada, 250 m di antaranya terkena abrasi. Bahkan, lebar daratan pantai yang dulunya mencapai 200 m, saat ini hanya tersisa sekitar 20 m.Abrasi yang terjadi di wilayah Kota Tegal itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan baru kini disadari akibatnya. Akibat abrasi, sebagian besar daratan termasuk ratusan hektar tambak yang ada hilang Selama ini abrasi terparah terjadi di wilayah Muarareja, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal. Di wilayah tersebut, sekitar 300 hektar lahan tambak milik nelayan hancur. Selain itu, abrasi juga menghancurkan sebagian perumahan penduduk di wilayah tersebut.


Sementara, di Kabupaten Brebes, abrasi telah mengakibatkan hal yang sama. Data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Brebes, Sabtu (17/12/05), abrasi di Brebes mencapai luasan 947,05 hektar.Abrasi di Brebes terdapat di lima kecamatan, yaitu Kecamatan Losari, Tanjung, Bulakamba, Wanasari, dan Kecamatan Brebes. Abrasi terparah terdapat di Kecamatan Losari, mencapai 481,9 hektar dan meliputi lima desa, yaitu Desa Limbangan, Karangdempel, Prapag Lor, Prapag Kidul, dan Kecipir.


Tidak hanya di Kota Tegal dan Kabupaten Brebes. Di Kota Pekalongan pun abrasi telah menimbulkan persoalan sosial yang kompleks. Abrasi terparah di Kota Pekalongan terjadi di Kelurahan Panjang Wetan, Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan, yaitu di Pantai Sari.Di sana abrasi bahkan telah mengganggu ketenangan hidup sekitar 200 kepala keluarga (KK) di Kelurahan Panjang Wetan. Pasalnya, abrasi telah menimbulkan rob yang setiap hari menggenangi rumah penduduk. Akibatnya, warga di sana banyak yang terkena penyakit kulit


Pencegahan Abrasi


1. Penanaman kembali hutan bakau


Yaitu melalui rehabilitasi lingkungan pesisir yang hutan bakaunya sudah punah, baik akibat dari abrasi itu sendiri maupun dari pembukaan lahan tambak.


2. Pelarangan penggalian pasir pantai


Perlu peraturan baik tingkat pemerintah  daerah maupun pusat yang mengatur pelarangan pasir pantai secara besar besaran yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan.


3. Pembuatan pemecah gelombang


Pemecah gelombang perlu dibuat di pesisir-pesisir karena dapat mengurangi kekuatan gelombang yang menerjang pantai.


4. Pelestarian terumbu karang


Terumbu karang juga dapat berfungsi mengurangi kekuatan gelombang yang sampai ke pantai. Oleh karena itu perlu pelestarian terumbu karang dengan membuat peraturan untuk melindungi habitatnya.


Penanganan Abrasi


1. Dengan menggunakan alat pemecah gelombang


Di Kota Tegal, dibangun lima break water (pemecah gelombang) di sekitar pantai yang berfungsi menangkal arus air laut. Pemecah gelombang itu dibangun vertikal sepanjang sekitar 200 meter.Menurut Suharjo, dengan adanya lima pemecah gelombang, muncul sedimen pasir dan mengakibatkan penambahan luas wilayah pantai. Oleh karena itu, jumlah pemecah gelombang di tempat itu akan ditambah tiga buah, masing-masing sepanjang 60 meter. Diharapkan, upaya itu akan menambah luas wilayah pantai selebar 75 meter.Selain itu, Pemkot Tegal bekerja sama dengan berbagai lembaga juga menanam pohon bakau di sepanjang pantai. Dalam setengah tahun terakhir, sekitar 10.000 bibit tanaman bakau sudah ditanam untuk mengatasi abrasi di wilayah pantai Kota Tegal.


Di Kota Pekalongan, pemerintah setempat juga membangun penahan gelombang sepanjang 380 meter di Pantai Sari pada pertengahan Juni 2005. Biaya pembangunannya mencapai sekitar Rp 960 juta, diambilkan dari dana APBD setempat.Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Pekalongan Moch Feizal mengatakan, pembuatan penahan gelombang tersebut dimaksudkan untuk menahan terjangan ombak yang selama ini terjadi di Pantai Sari. Dengan adanya pemecah gelombang, diharapkan air dari laut tidak masuk ke permukiman penduduk.


Departemen Kehutanan bekerja sama dengan Pemerintah Kota Pekalongan dan Paguyuban Masyarakat Pesisir Cinta Lingkungan (PMPCL) juga telah menyiapkan 400.000 benih pohon bakau. Pohon bakau tersebut mulai ditanam pada bulan September lalu di sepanjang pantai dan di sela-sela bangunan penahan gelombang


2. Dengan pemasangan kubus beton


Konsultan Darma Dakra Tama tahun 1998 yang menyimpulkan bahwa struktur paling baik dan efektif untuk menangani kerusakan pantai di Kalbar adalah berupa kubus beton ukuran 0,40 m2 (Marsudi dan Hari, 2001).


Penggunaan kubus beton dengan ukuran 0,40 m2 sesuai dengan hasil penelitian LIPI dan Litbang Pengairan pada tahun 1992 serta Konsultan Darma Dakra Tama tahun 1998 telah dilakukan di Kalimantan Barat (Marsudi dan Hari, 2001).Sistem penumpukan kubus beton rawan terhadap hantaman gelombang dan arus sungai apabila musim penghujan.  Hal ini  karena adanya sifat gerusan arus (scouring of current) yang bersifat siklik akan menggerus bagian bawah dari struktur.Sehingga beban kubus beton yang begitu berat akibat digerus oleh arus siklik tersebut dikhawatirkan akan runtuh/kolap akibat bebannya sendiri.


Cara ini dilaksanakan khususnya diwilayah Kalimantan Barat yang memiliki jalur pantai yang berperan sangat penting bagi kehidupan seluruh rakyat karena akses transportasi melalui laut dan pantai disekitarnya.


3. Penanaman pohon bakau (hutan mangrove)


Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi tropis, yang didominasi oleh berbagai jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut berlumpur.


Salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia terdiri dari Avicennia spp. pada daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir.  Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.  Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di Zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.  Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. Terakhir pada zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan daratan rendah biasanya ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.


Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove berfungsi sebagai (a) peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen, (b) penghasil sejumlah detritus dari daun dan dahan pohon mangrove, (c) daerah asuhan (nursery grounds), mencari makan (feeding grounds), dan pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya, (d) penghasil kayu untuk konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang, dan bahan baku kertas (pulp), (e) pemasok larva ikan, udang dan biota lainnya, dan (f) tempat pariwisata (Bengen, 2001a).


Hal ini didukung oleh kemampuan adaptasi yang tinggi dari pohon mangrove.  Bengen (2001a) mengatakan bahwa pohon mangrove mampu beradaptasi terhadap kadar oksigen rendah, kadar garam tinggi, tanah yang kurang stabil dan adanya pasang-surut.


Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah dilakukan pohon mangrove dengan membentuk perakaran yang khas, yakni: (a) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya Avicennia spp., Xylocarpus spp., dan Sonneratia spp.), untuk mengambil oksigen dari udara, dan (b) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya: Rhizophora spp.).  Sedangkan untuk beradaptasi terhadap kadar garam yang tinggi dilakukan dengan memiliki: (a) sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan  garam,  (b)  daun  tebal  dan  kuat yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam, dan (c) daun berstruktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.


Pohon mangrove juga beradaptasi terhadap tanah atau media tumbuh yang kurang stabil (berlumpur) dan adanya passang-surut dengan mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar.  Disamping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.


Hutan mangrove juga umum disebut hutan bakau atau mangal.  “Bakau” adalah nama tumbuhan  daratan berbunga yang mengisi kembali pinggiran laut.  Sebutan bakau ditujukan untuk semua individu tumbuhan, sedangkan mangal ditujukan bagi seluruh komunitas atau asosiasi yang didominasi oleh tumbuhan lain (Nybakken, 1982).  Walsh (1974) melaporkan bahwa 60-75 persen garis pantai daerah tropik di bumi telah ditumbuhi oleh bakau.


Hutan mangrove Indonesia kini tersisa 2,5 juta hektar.  Padahal sepuluh tahun silam mencapai 4,5 juta hektar.  Sehingga menjadi negara dengan hutan mangrove terluas di dunia.  Dimana total luasnya hutan mangrove mencapai 14,70 juta hektar.


Hutan mangrove di Indonesia ini keragamannya juga tinggi.  Mencapai total 89 jenis tumbuhan, dengan rincian sebagai berikut: (a) 35 jenis pohon, (b) 5 terna, (c) 9 perdu. (d) 9 liana, (e) 29 epifit, dan (f) 2 parasit (Trubus, 2000).


Di Brebes, Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Konservasi Lahan melakukan rehabilitasi kawasan pantai dengan penanaman hutan bakau.Pada program tersebut ditanam 2,09 juta pohon pada tahun 2004. Pohon bakau tersebut di tanam di atas lahan seluas 500 hektar di sepanjang pantura Brebes.Meskipun penanganan abrasi sudah dilakukan, hingga saat ini hasilnya belum maksimal. Rehabilitasi pantai dan tambak belum sepenuhnya pulih. Itu dapat dilihat di Desa Sawojajar, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes.


Akibat Abrasi


Akibat abrasi yang terjadi di tepi sungai Mahakam, dua buah rumah permanen yang berada di Desa Perjiwa, Kecamatan Tenggarong Seberang, ambruk dan secara perlahan tenggelam ke dasar sungai. Dampak negatif yang diakibatkan oleh abrasi antara lain:



  • Penyusutan lebar pantai sehingga menyempitnya lahan bagi penduduk yang tinggal di pinggir pantai

  • Kerusakan hutan bakau di sepanjang pantai, karena terpaan ombak yang didorong angin kencang begitu besar.

  • Kehilangan tempat berkumpulnya ikan ikan perairan pantai karena terkikisnya hutan bakau


Posting Komentar untuk "Abrasi"